02.20

KLBF Kalbe Farma Tbk

Industri Farmasi: Lompatan-Lompatan Bisnis dr. Boen

Saat ini industri farmasi dunia memasuki lanskap bisnis baru berupa penggunaan obat berbasiskan kemajuan bidang bioteknologi dan sel punca. Tak mau terlambat beradaptasi, dalam 6–7 tahun terakhir, PT Kalbe Farma Tbk., yang didirikan dr. Boen, telah melakukan lompatan bisnis di kedua tren bisnis farmasi itu. Walau menelan biaya besar, Kalbe telah cukup berhasil memperoleh nilai bisnis yang tidak kecil di kedua bidang itu.

Think Global, Go Regional, and Act Local. Itulah pakem singkat, padat, dan jelas yang kerap diutarakan Boenjamin Setiawan mengenai masa depan PT Kalbe Farma Tbk., perusahaan farmasi yang didirikannya sejak 1966. Menurut pria yang akrab disapa dr. Boen itu, Think Global berarti Kalbe harus selalu bermimpi dan berpikir global untuk bisa mengikuti perkembangan dunia. Go Regional berarti Kalbe harus sudah melangkah ke pasar regional, sedangkan Act Local berarti Kalbe harus menguasai pasar dalam negeri atau mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.

alt

Mengapa dr. Boen berpikiran seperti itu? Menurutnya, memang saat ini Kalbe telah berhasil menjadi perusahaan farmasi publik terbesar di

Indonesia. Bahkan, sekitar tahun 1989 Kalbe telah berhasil mengembangkan pasarnya di negara-negara altASEAN, Nigeria, dan Sri Lanka. Akan tetapi, dunia industri farmasi terus berkembang pesat. Apabila Kalbe tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan dunia itu, ia khawatir Kalbe tidak bisa bertahan lama. “Saya ingin Kalbe dapat terus bertahan hingga 100 tahun lebih. Secara realistis, kalau melihat sejarah industri farmasi dunia, memang kepemilikan pendiri dan keluarganya di perusahaan farmasi pada suatu waktu akan mengencer, tidak mungkin dimiliki seterusnya. Namun, yang penting perusahaan itu masih ada. Itu yang diharapkan,” ujar founder and senior advisor PT Kalbe Farma Tbk. itu.

Dalam pandangan dr. Boen, perkembangan industri farmasi dunia terbagi dalam lima gelombang. Pertama, penggunaan tanaman dan binatang sebagai bahan baku obat, atau umum disebut dengan obat herbal. Kedua, penggunaan obat sintetik. Gelombang ketiga terjadi ketika muncul penemuan berbagai obat antibiotika. Keempat, penemuan berbagai obat biopharmaceutical. Gelombang kelima atau yang terakhir adalah penggunaan stem cell untuk pengobatan terapi sel atau targeted therapy. “Kalau kita melihat jenis-jenis penyakit, stem cell ini bermanfaat untuk mengobati penyakit degeneratif, seperti kencing manis, tekanan darah tinggi, dan kanker. Pokoknya penyakit-penyakit yang umumnya diderita orang tua,” ungkap dr. Boen.

Jadi, ada lanskap baru dalam perkembangan industri farmasi. Dan, dr. Boen tegas-tegas menyatakan Kalbe harus bisa beradaptasi dengan lanskap baru itu. “Falsafah Kalbe Farma adalah survival through growth and adaptation. Perusahaan ini harus mampu terus survive,” tegas dr. Boen. Sembari mengutip ucapan ilmuwan masyhur dunia Charles Darwin, bahwa “It is not the strongest of the species that survive, nor the most intelligent, but the one that is most responsive to change”, dr. Boen menandaskan bahwa perusahaan mampu survive apabila terus mampu mengembangkan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia. Maka, dalam kurun waktu 6–7 tahun terakhir, Kalbe pun memberanikan diri melangkah ke gelombang keempat dan kelima dalam tren industri farmasi global.

Lompatan ke Bisnis Biopharmaceutical alt
Pada akhir 1990-an terjadi perkembangan baru di industri farmasi dunia, yaitu muncul gelombang produk-produk obat berbasis bioteknologi atau biopharmaceutical, terutama produk-produk seperti eritropoietin (EPO). Fungsi eritropoietin adalah merangsang pembentukan sel darah merah. Pada sakit tertentu, seperti sakit ginjal kronis, sel darah merah turun, maka apabila ditambahkan dengan EPO, sel darah merah akan naik kembali.

Akan tetapi, harga obat seperti EPO terlalu mahal dan banyak orang Indonesia yang tak mampu membelinya. Sekali suntikan EPO harganya bisa sampai Rp1 juta. Padahal, orang yang sakit ginjal kronis ini sudah harus melakukan haemodialisa atau cuci darah yang selama satu bulan biayanya sudah Rp6 juta-an. Apabila kemudian harus disuntik dengan EPO sampai 2–3 kali, maka pasien harus mengeluarkan biaya Rp2–3 juta lagi.

Hal itulah yang kemudian memancing Kalbe untuk terjun ke dalamnya. Mereka melihat peluangnya besar dan pasarnya ada. Banyak orang membutuhkan, tetapi tidak sanggup membelinya karena terlalu mahal. ”Waktu itu kami mulai berpikir mengapa tidak memulai sesuatu yang baru,” ungkap Johannes Setijono, presiden komisaris PT Kalbe Farma Tbk. Memang Kalbe berhasil tumbuh besar dengan mengandalkan produk-produk obat yang tergolong gelombang pertama, kedua, dan ketiga. Artinya, Kalbe besar dengan memproduksi obat-obat antibiotik, obat kimia, dan beberapa obat herbal. Pada 1989 Kalbe pun sudah mengembangkan pasar luar negeri untuk obat-obat tersebut. Namun, Kalbe juga melihat ketika itu pasar obat-obat kimia dan antibiotik dunia makin jenuh dan makin crowded. Hampir semua pelaku industri farmasi bermain di dalamnya. “Semua orang mainnya sama,” terang Johannes.

altMaka, pada 2002–2003 Kalbe mulai beradaptasi dengan perkembangan baru itu, dengan merintis langkah pertama yang sederhana. Pada tahun itu, mereka mulai bekerja sama dengan perusahaan di luar negeri yang memproduksi obat-obat yang masuk ke arah biological dan melakukan clinical trial di Indonesia kendati dengan biaya yang tidak sedikit. ”Misalnya untuk EPO, dengan nama produk kami HEMAPO, kami melakukan clinical trial cukup banyak. Jadi, untuk membuktikan kalau untuk pasien ginjal bagaimana atau pasien kanker bagaimana. Jadi, setiap indikasi harus dibuktikan,” jelas Johannes. Gelombang keempat atau gelombang penggunaan obat-obat berbasis bioteknologi terdiri dari dua jenis, yaitu obat biopharmaceutical baru dan obat biosimilar atau produk identik dari obat biopharmaceutical yang telah ada sebelumnya. Obat similar umumnya muncul seiring habisnya masa paten obat biopharmaceutical sebelumnya.

Tidak cukup dengan satu produk, Kalbe pun mulai membuat beberapa produk obat biopharmaceutical lainnya yang memiliki pangsa pasar besar di dunia, tetapi di Indonesia masih kecil, seperti interferon dengan nama produk Kalferon dan granulocyte colony-stimulating factor dengan nama produk Leucogen. ”Jadi, ini beberapa produk yang sebenarnya menirukan sel-sel dalam tubuh kita yang kekurangan pada waktu keadaan sakit,” terang Johannes.

Setelah inisiatif-inisiatif itu mulai terlihat perkembangannya, barulah Kalbe mulai memikirkan anak perusahaan yang mewadahinya. Mereka mengonsentrasikan semua kegiatan pemasaran dan clinical trial yang menyangkut biological ini pada satu anak perusahaan bernama Innogene Kalbiotech yang berbasis di Singapura. Sejak itu, gerak Kalbe mengarungi lanskap baru bisnis farmasi makin jauh.


Lompatan ke Bisnis Targeted Therapy

altKalbe kemudian melihat peluang di bidang farmasi biological ternyata jauh lebih luas dibandingkan sebelumnya seperti eritropoietin, interferon, dan lain-lain. Era pengobatan sekarang mulai menginjak pada era yang disebut targeted therapy atau pengobatan yang targeted untuk sel-sel yang sakit. Salah satu yang terkenal adalah penggunaan monoclonal antibody (MAB) untuk sel kanker. ”Produk yang menggunakan MAB ini mulai dikenal di seluruh dunia, tetapi di Indonesia pemasarannya tidak besar karena harganya mahal sekali,” papar Johannes.

Kembali naluri bisnis Kalbe bergerak. Setelah mulai berhasil dengan produk-produk obat biosimilar, pada 2004–2005 Kalbe mulai menginjakkan kaki di bidang pengobatan targeted untuk sel-sel yang sakit. Di masa depan, peluang usaha untuk bidang ini terbilang besar. Pasalnya, pengobatan kanker dengan kemoterapi memiliki efek samping yang terkadang membuat pasien meninggal. Sementara itu, MAB membantu proses pencegahan sel kanker berkembang biak dengan menyasar langsung tepat ke sel kanker tersebut dan tidak membunuh sel yang lain.

Memasuki pengembangan produk targeted therapy ini, Kalbe mendapatkan peluangnya dengan bergabung dalam satu penelitian bersama (coordinated trial) untuk satu produk, bekerja sama dengan perusahaan Kuba dan Kanada. Kalbe mendapat tawaran untuk bersama-sama mengembangkan suatu produk yang memiliki potensi besar sekali. Mengembangkan di sini berarti Kalbe diajak bersama-sama melakukan clinical trial guna membuktikan bahwa produk ini berkhasiat untuk kanker dengan varian yang beragam. Nama kimia produk itu adalah nimotuzumab dan nama dagang Kalbe untuk produk itu adalah TheraCIM. “Ini adalah satu MAB yang pada waktu itu kami melihat akan bagus sekali karena semua data yang ada menunjukkan bahwa dia adalah suatu produk yang targeted sehingga efek sampingnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan kemoterapi atau bahkan dibandingkan dengan targeted therapy yang lain,” jelas Johannes.

Hitung-hitungan Kalbe, dengan efek samping yang minimal, peluang pasar obat nimotuzumab cukup terbuka lebar. Harapannya, dengan adanya obat yang memiliki efek samping kecil, orang yang menderita sakit kanker bisa mendapatkan alternatif pengobatan yang lebih baik. Dengan masuk ke pengobatan targeted therapy ini, boleh dibilang Kalbe kembali melakukan lompatan usaha sekaligus pula memperluas pasar internasional Kalbe hingga ke berbagai negara. Pasalnya, untuk mengembangkan produk nimotuzumab ini mendapatkan rights wilayah kerja di ASEAN, Afrika Selatan, dan beberapa negara di Afrika. Selain itu, dalam konsorsium tersebut, Kalbe mendapatkan peluang kerja sama clinical trial dengan perusahaan-perusahaan farmasi negara-negara maju seperti Oncoscience AG (Jerman), Daiichi Sankyo Co. Ltd. (Jepang), dan Kuhnil Pharmaceutical Co. Ltd. (Korea).

Kendati demikian, ongkos yang harus dikeluarkan Kalbe untuk dapat sukses ke bisnis targeted therapy ini juga besar. Selain harus membiayai sendiri clinical trial yang harus dilakukan Kalbe, mereka juga harus berkontribusi juga terhadap clinical trial yang dilakukan perusahaan Kuba dan Kanada itu sebelumnya. Pada waktu Kalbe mendapatkan rights untuk mengembangkan produk nimotuzumab di wilayah kerja yang diperuntukkan Kalbe, Kalbe harus membayar US$1 juta. “Padahal, biaya R&D kami saja tidak sebesar itu,” cetus Johannes. Tahun ini bujet untuk biaya R&D Kalbe sebesar Rp90 miliar, sedangkan tahun sebelumnya Rp40 miliar. Namun, Kalbe yakin begitu produk TheraCIM ini gencar dipasarkan di Indonesia dan makin baiknya penerimaan para dokter, maka biaya besar yang sudah dikeluarkan bisa tertutupi sejalan dengan tumbuhnya permintaan. “Oleh karena ini usaha pertama, asalkan bisa menutup, itu sudah bagus atau tidak rugi,” kata Johannes.

Lompatan ke Penelitian Stem Cell

Puaskah dr. Boen dengan keberhasilan itu? Tidak juga. Setelah usaha membuat produk targeted therapy dengan memulainya pada tahap clinical trial bisa dijalankan, dr. Boen menginginkan tahap yang lebih maju atau lebih awal lagi. Ia ingin Kalbe tidak hanya belajar membuat produk targeted therapy pada tahap clinical trial saja, tetapi, lebih jauh, bisa menemukan konsep-konsep dasar produk targeted therapy, yaitu stem cell atau sel punca. Dari ide inilah kemudian Kalbe mulai merintis pendirian Stem Cell and Cancer Institute (SCI) pada Desember 2006 untuk melakukan penelitian-penelitian tentang sel punca.

Awalnya tidak mudah karena jumlah tenaga ahli Indonesia di bidang penelitian semacam ini sangat terbatas. Maka, biaya besar pun harus dikeluarkan untuk merekrut tenaga-tenaga ahli asal Indonesia yang bekerja di luar negeri. Saat ini telah ada 10 orang doktor di bidang bioteknologi yang bergabung. Akan tetapi, ternyata itu tak cukup karena dibutuhkan pula tenaga-tenaga ahli tambahan untuk menangani bidang-bidang yang berbeda, sehingga akhirnya Kalbe pun merekrut beberapa tenaga ahli asing. Biaya makin membengkak karena yang namanya penelitian tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Maka, jelas Kalbe belum bisa mengharapkan return yang memadai dari usaha ini. Namun, bagi Kalbe, dalam inisiatif meneliti sel punca ini, untung-rugi adalah persoalan kedua. Persoalan yang lebih penting adalah hasil-hasil penelitian SCI bisa membantu kesembuhan pasien. “Kalau tidak bisa membantu pasien, apa gunanya melakukan penelitian? Pokoknya orang bisa yakin bahwa ini bermanfaat sambil kami meneliti lebih jauh,” papar Johannes. Ultimate goal dari penelitian-penelitian SCI adalah bisa menghasilkan sel punca yang tidak harus menunggu dari sel punca orang yang bersangkutan, tetapi bisa diterima oleh orang yang berbeda-beda, seperti layaknya bank darah atau satu produk bisa diterima semua. Sementara ini, paling tidak Kalbe ingin membuktikan dahulu bahwa penelitian sel punca memang bermanfaat.

Tutur Johannes, Kalbe menerapkan strategi yang pragmatis dalam mengembangkan SCI. Lembaga ini tidak melakukan penelitian dari nol karena membutuhkan waktu terlalu lama sehingga mereka banyak melakukan penelitian ulang hasil penelitian di luar negeri yang sudah terbukti. Selanjutnya, hasil penelitian ulang itu diproses menjadi produk yang bermanfaat bagi masyarakat.

Untuk langkah pertama, mereka mendirikan sebuah bank sel punca bersama perusahaan Singapura. Ini upaya sederhana karena hanya memproses umbilical cord blood (tali pusar) untuk disimpan sehingga tatkala diperlukan bisa segera dipakai dan bisa komersial. Usaha berikutnya adalah melakukan penelitian pemanfaatan darah dari tali pusar atau sel punca dari tali pusar untuk pengobatan luka bakar. Mereka kemudian bekerja sama dengan profesor dari Singapura yang bisa membuktikan bahwa sel tulang rawan di tulang lutut ternyata bisa ditumbuhkan kembali dengan stem cell. Mereka juga menjalin kerja sama dengan bagian orthopedic RSCM dan National University of Singapore untuk membuat layanan bagaimana menumbuhkan kembali sel tulang rawan di lutut yang rusak. Kalbe berharap akhir tahun ini sudah bisa mendapatkan izinnya dari Departemen KesehatanRI, yakni setelah laboratorium mereka selesai diaudit. Kalbe memberi brand Regenic untuk pengobatan luka bakar dengan menggunakan sel punca ini.

alt

Lompatan ke Bisnis Diagnostika Kanker

Di samping itu, di SCI, Kalbe juga mencoba mengembangkan jasa laboratorium diagnostika pada kanker, menimbang sekarang ini zamannya targeted therapy. Untuk melakukan targeted therapy pada kanker, tidak bisa secara serta merta. Harus ada pemeriksaan terlebih dahulu guna menentukan terapi yang paling cocok. Peluang inilah yang ditangkap SCI untuk bisa menjadi laboratorium rujukan untuk diagnostika bagi para dokter ahli kanker. Mereka memberi brand Kalgen untuk pengembangan diagnostika pada kanker ini. Beberapa dokter di Singapura dan Malaysia diketahui telah berminat menggunakan jasa laboratorium SCI.

Apakah jasa laboratorium SCI ini bisa menjadi sumber pemasukan yang berarti bagi Kalbe? Kalkulasi Kalbe, Kalgen akan banyak menyokong pemasaran TheraCIM. “Untuk sementara, bentuknya seperti itu. Jadi, pada satu sisi ada pos rugi, tetapi ada pos untung di sisi yang lain. Namun, kami berharap suatu saat kedua-duanya bisa saling mendukung dan menjadi profit center Kalbe,” urai Johannes. Kabar baiknya adalah Innogene sudah bisa menghasilkan keuntungan sendiri meskipun itu belum cukup untuk menutup total biaya penelitian yang dilakukannya sehingga masih perlu suntikan modal dari induk perusahaan. Sejauh ini, Kalbe telah mengeluarkan dana sebesar US$5 juta untuk pengembangan Innogene. Akan tetapi, Johannes yakin apabila ada investor yang tertarik masuk ke Innogene, maka ditaksir nilai Innogene bisa mencapai US$2530 juta.

alt

Diikuti Perusahaan Farmasi Nasional Lainnya

Sepengetahuan Johannes, pemain-pemain industri farmasi lain juga menggunakan jalan yang sama seperti Kalbe supaya bisa sukses pula melangkah ke pasar internasional. “Malah, untuk start, mereka membajak orang-orang Kalbe,” ungkap Johannes. Namun, itu untuk produk-produk farmasi yang termasuk gelombang pertama, kedua, dan ketiga. Sementara itu, untuk produk-produk farmasi yang termasuk gelombang keempat dan kelima, Johannes mencermati belum terlihat langkah yang serius dalam artian hingga membentuk perusahaan dan melakukan penelitian, meskipun secara sporadis telah ada yang mencoba.

Anthony Ch. Soenarjo, ketua umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, menilai langkah Grup Kalbe ini patut diacungi jempol. “Artinya, ini ada kemajuan baru di industri farmasi nasional,” tandasnya. Ia mencermati sebelumnya industri farmasi nasional sering kali tertinggal bertahun-tahun terhadap temuan-temuan teknologi baru di industri farmasi dunia. Termasuk juga dalam hal pengembangan obat berbasiskan bioteknologi di dunia, karena sebenarnya hal itu telah terjadi 1015 tahun lalu. Akan tetapi, lain halnya dengan pengembangan obat berbasiskan sel punca. “Stem cell baru muncul belakangan, sehingga kalau di Indonesia sudah ada yang bisa, artinya industri farmasi di Indonesia selangkah lebih maju karena sudah bisa cepat mengikuti perkembangan dunia farmasi internasional,” terangnya. Anthony yakin langkah Kalbe ini juga telah dilakukan oleh perusahaan farmasi lainnya. “Saya harap industri farmasi yang lain juga akan mengembangkan riset serupa,” cetusnya.

Awal tahun ini industri farmasi global diguncang oleh tiga peristiwa megamerger dan akuisisi yang melibatkan enam raksasa farmasi global. Hal itu terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu hanya dalam tempo tiga bulan (JanuariMaret 2009). Peristiwa pertama adalah akuisisi Wyeth oleh Pfizer, produsen obat terbesar di dunia, dengan nilai US$68 miliar. Ini merupakan peristiwa akuisisi terbesar di industri farmasi global dalam 10 tahun terakhir. Akuisisi terbesar pernah terjadi pada 1999 ketika Pfizer mencaplok Warner-Lambert dengan nilai US$90 miliar. Selang beberapa waktu setelah Pfizer mengakuisisi Wyeth, giliran Merck yang mengakuisisi Schering-Plough Corporation senilai US$41,1 miliar. Peristiwa ketiga yakni akuisisi Genentech oleh Roche dengan nilai US$46,8 miliar. Sinergi itu, selain membuat nilai penjualan tahunan perusahaan-perusahaan global itu bertambah besar, juga membuat anggaran riset mereka untuk menemukan obat-obat baru pun jadi makin kuat.

Di samping itu, saat ini industri farmasi di Cina dan India makin pesat perkembangannya, sehingga tidak hanya mampu berkiprah di Asia, tetapi juga di tingkat dunia. Cina kian mengukuhkan diri sebagai penyedia bahan baku industri farmasi dunia, sementara India memiliki kemampuan produksi farmasi bagi kepentingan negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Eropa. Maka, dalam konteks tantangan persaingan global sedemikian rupa, usaha Kalbe menjadi perusahaan farmasi kelas Asia dengan mengikuti tren-tren baru industri farmasi dunia tampaknya merupakan jawaban yang tepat.

0 komentar: